Rabu, 11 April 2012

Korupsi



BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang


Peraturan Perundang – Undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi negara dirancang dan disahkan sebagai Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Begitu pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terdapat gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.

Para pejabat negara menjadikan kasus korupsi dijadikan senjata ampuh dalam pidatonya, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.

Lemahnya hukum di Indonesia dijadikan senjata ampuh oleh para koruptor untuk menghindar dari tuntutan. Kasus korupsi mantan pejabat besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia. Presiden Soeharto adalah contoh koruptor yang yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Seperti penyelesaian kasus-kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi.

1.2 Rumusan Masalah


1.    Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?
2.    Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?
3.    Bagaimana multiplier effect bagi efesiensi & efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?





1.3 Tujuan Penelitian

      
Pertama, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh buruk dari tindakan korupsi bagi perekonomian Indonesia, sehingga dapat diminimalisir prakteknya.

Kedua, untuk memberikan informasi bagi generasi penerus bangsa bahwa tindakan  korupsi yang ada di Indonesia masih berkembang sehingga dapat membentuk karakter sejak dini dan membuang jauh jiwa korupsi dalam hal sekecil apapun.             

1.4 Metodologi Penulisan


A.  Alat Pengumpul Data
Ø  Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif, suatu metode yang dapat memberikan suatu fenomena atau gejala dari suatu keadaan tertentu baik yang berupa keadaan sosial ,sikap, pendapat, maupun cara yang meliputi berbagai aspek. Dengan metode deskriptif ini juga bisa diketahui perbedaan-perbedaan dan dapat menemukan sebab-sebab dari suatu akibat.

B.  Teknik Pengumpulan Data                      
Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, saya mempergunakan metode studi pustaka.

Metode studi pustaka atau literatur ini dilakukan dengan cara mendapatkan data atau informasi tertulis yang bersumber dari buku-buku, koran dan berbagai artikel di internet yang menurut saya mendukung penulisan ini.



BAB II

KERANGKA TEORITIS PEMBAHASAN


2.1 Kerangka Teoritis


A.  Pengertian Korupsi
Kata “Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah bahasa Indonesia menjadi : Korupsi.

Kumorotomo (1992:175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).

Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.

Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.

B.  Jenis-jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian dari keuntungan negara                        
2. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah)         
3. Benturan kepentingan dalam pengadaan             
4. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
5. Pemerasan
6. Perbuatan curang
7. Penggelapan dalam jabatan

Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.

2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.

3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.

6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.

7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

2.2 Pembahasan


A.  Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting: The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatianan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang meletakakan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah berarti dalam sistem sosial politiknya teleransi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggran hak asasi manusia, lanjut Pope.

Menurut Dleter Frish, mantan Direktur Jendral Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu negara dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik, korupsi selalu menyebabkan situasi sosial ekonomi tak pasti (uncertainly).
 Ketidakpastian ini tidak asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sector swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi, Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tidak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana.

Mubaryanto, Penggiat Ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakan menjadi “KKN”.

Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barang kali beralasan karena praktek korusi korupsi memang terkait kolusi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingakan dengan penggunaan kata korupsi secara gambling dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.

B.  Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalan mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media masa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi.

Dimensi politik hukum yang merupakan Kebijakan Pemberlakuan atau Enforcement Policy, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang, pengusaha tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan.
Fakta yang terjadi menunjukan bahwa negara-negara industri tidak dapat lagi menggulur negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korusilah sistem ekonomi sosial rusak, baik negara maju dan berkembang. Bahkan dalam buku “The Confession of Economic Hit Man”, John Pakin mempertegas peran besar negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan multinasional terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh pengusaha Indonesia saat ini.

Demokrasi dan metamorfosis korupsi pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan ikon orde baru, Soeharto, membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebutnya terhadap perubahan tersebut.

Namun sayangnya reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Bubble gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrassy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau ditanya rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulu para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru.

Dulu korupsi tertralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi dan desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan. Disharmonisasi politik ekonomi sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat terus naik karena korupsi.

Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia praktek korupsi makin mudah ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial., kepentingan pribadi menjadi pilihan utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat.

Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan kedua alasan ini menyeruak di Indonesia, justru memfasilitasi korupsi. Mubaryanto menjelaskan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan.

Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat.

Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, jika sejak krisis multidimensi yang berasal dari krisis moneter 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik.

Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah aturan main berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara.

Kita menghimbau para filosof dan ilmuan-ilmuan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empiris induktif yaitu selalu menggunakan data-data empiris dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori berat.

 Dengan berpikir empiris kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.

Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korupsi maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia.

Pembangunan ekonomi sering dijadikan asalan untuk mengendalikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan negara adidaya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundik-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.

C.  Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok Setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonomi dan pengamat politik dunia.

Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial politik ekonomi di Indonesia.

Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya penguatan-penguatan yang lahir melalui pendapan daerah yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah.

Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan akibat itu semua kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi pembangunan di daerah terhambat boro-boro memacu PAD.

Terdapat bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, fakor sosial politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan dalam hal ini pemerintah daerah sebagai factor penghamabat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi penghambat utama bagi infestasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang beratri praktek korupsi yang melalui pungutan-pungutan liar yang berarati liar dan dana pelican marah pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah terserbut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah.

Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya di daerah. Pada 2005 banyak daerah banyak melalukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilitasi politik di daerah yang membuat enggan para investor untuk menanam modalnya di daerah.
                  
  Dalam situasi politik ini, insvestor lokal memilih modalnya kepada ekspestasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya.

Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi. Justru  hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (Goverenment Expenditure) karena para insvestor hanya mengerjakan prokyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru di luar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur Negara) bahkan akan berdampak pada insvestasi pengeluaran pemerintah karena untuk meningkatkan PAD-nya mau-tidak mau pemerintah harus mengenjot pendapatan dari pajak dan retrevusi melalui berbagai perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi.

Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang melahirkan ekonomi tersebut akan di dukung oleh birokrasi yang  njelimet.

Seharusnya titik tolak daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi daerah yang sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (pendapatan asli daerah), pengurangan jumlah pengurangan jumlah penganguran dan kemiskinan pasti mengikuti.


D.  Memberantas Korupsi Demi Pembangunan Ekonomi
 Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghamabt pengembangan system pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah menikmati pembangunan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik.

Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang, yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan.

Pengadilan merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun memiliki ruang kebebasan menegakan kedaulkatan hukum dan peraturan dengan demikian akan terbentuk lingkaran perbaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melalukan pengawasan, dan pihak lain diawasi.

Namun, konsep ini sangat mudah dituliskan atau dikatakan dari pada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktui yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar. Bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugas yang efektif dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai prilaku beresiko yang sangat tinggi dengan hati yang sedikit.

Kedua, hal yang paling sulit dan punda mental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan sekedar kemauan para politis dan orang-orang yang berkecimbung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua yakni, kemauan politik yang termanisfestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga negara dari berbagai elemen atau sastra sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawab untuk mengelola dan bertanggungjawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.

Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politis dan pejabat negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan social politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial politik akan memilih pimpinan (politis) dan pejabat negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat di awasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi.

 Ketika kontrusi integritas nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial.


BAB III

KESIMPULAN


              
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi dan paripurna di Indonesia.
                 
 Korupsi yang telah terlalu lama seperti wabah yang tidak pernah tepat sasaran ibarat pepatah “yang sakit kepala, kok yang di obati tangan”. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.

















DAFTAR PUSTAKA



Surat kabar Kompas. (2006).

Hikmahanto Juwana. (2006). Paper “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia” MPKP, FE,UI. Jakarta: Gramedia

Mobaryanto. (2004). Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM. artikel, “Keberpihakan dan Keadilan”.

Jeremy Pope. (2000). “Confronting Corruption: The Element Of National Integrity System”. Transparency International.

Robet A Simanjuntak. (2003) “Implementasi Desentralisasi Fiskal: Problem, Prospek, dan Kebijakan”. LPEM UI.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah          .

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar