Sabtu, 23 Juni 2012

Dua Cinta


DUA CINTA

ANTARA DUA CINTA KUTERPURUK
ANTARA DUA PILIHAN KUTERPOJOK
ANTARA DUA PRIA KUBIMBANG
ANTARA YA DAN TIDAK...
AKU INGIN KEPASTIAN

AKU CINTA KEDUANYA
AKU SAYANG KEDUANYA
AKU BUTUH KEDUANYA
DAN AKU INGINKAN KEDUANYA

TAPI....
AKU HARUS MEMILIH SALAH SATU
DIANTARA MEREKA
TAPI SULIT BAGIKU UNTUK MEMUTUSKAN..
            ATAU..
            TIDAK KEDUANYA
            YA TIDAK KEDUANYA...
BIARLAH CINTAKU PADA KEDUANYA
TUMBUH DAN LAYU BERSAMA...


Rabu, 20 Juni 2012

Hukum Pidana Indonesia dan Korea


Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai akibat dari perkembangan teknologi maupun peradaban masyarakat bangsa di dunia, rasanya dunia ini semakin sempit, jarak-jarak semakin dekat, hubungan komunikasi semakin cepat, sehingga tidak satu pun Negara di dunia dapat mengucilkan diri atau dikucilkan dari pergaulan dunia.
Kelanjutannya ialah masyarakat bangsa atau Negara yang satu cenderung memperbandingkan dirinya terhadap yang lain, baik sebagai perwujudan dari nalurinya untuk menyatakan “kelebihannya” setidak-tidaknya dalam suatu bidang, atau untuk memelihara keseimbangan, baik dalam arti memelihara keseimbangan, maupun dalam arti memelihara saling pengertian atau saling meghormati. Selain daripada itu, dengan cara atau usaha memperbandingkan sesuatu itu diharapkan dapat meningkatkan diri sendiri dengan “mengambil” nilai-nilai yang maju dan mengemuka dari dunia luar tanpa menghancurkan kepribadian sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana lazim dikenal tiga sistem hukum pidana di dunia yang paling mengemuka, yaitu 1. Sistem Eropa Kontinental, 2. Sistem Anglo Saxon dan 3. Sistem Negara-negara sosial.
Dalam makalah ini, penyusun membandingkan antara sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum Korea yang sama-sama menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Manfaat memperbandingkan hukum pidana kita dengan hukum pidana dari Negara lain antara lain dapat menambah pemahaman kita mengenai kelebihan dan kelemahan dari dari hukum pidana kita, sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum pidana yang berlaku dewasa ini adalah warisan dari penjajahan Belanda dan resminya berbahasa Belanda Belanda. Sekalipun sudah ditambal-sulam di sana-sini, namun masih perlu pembaharuan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya antara lain sebagai berikut;
1. Bagaimana kodifikasi dan sistematika hukum pidana Korea?
2. Bagaimana perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Korea dalam hal penyertaan, perbarengan dan pengulangan, hapusnya hak penuntutan dan hapusnya hak pelaksanaan pidana, kesalahan, bersifat melawan hukum, dan sebab-akibat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kodifikasi dan Sistematika Hukum Pidana Korea
Hukum pidana Korea sudah dikodifikasikan sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Korea (Criminal Code of The Republic of Korea yang selanjutnya disebut CC saja) yang diundangkan berdasarkan Undang-Undang No. 239 tanggal 18 September 1953. Hukum Pidana Indonesia dikodifikasikan dalam KUHP (Undang-undang No. 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 73 Tahun 1958).
Sistematika Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berbeda dengan sistematika CC Korea. Sistematika KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu:
Buku I yang memuat Ketentuan Umum
Buku II yang memuat Kejahatan
Buku III yang memuat Pelanggaran
Sedangkan CC terdiri dari dua buku saja, yaitu:
Buku pertama : Ketentuan-ketentuan Umum
Buku Kedua : Ketentuan-ketentuan Khusus yang memuat tindak pidana
Jika diperbandingkan sistematika KUHP dengan CC, maka perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dalam hal ini adalah bahwa CC tidak membedakan antara Kejahatan dengan Pelanggaran, sedangkan KUHP masih membedakannya. Kejahatan dan Pelanggaran dalam CC disatukan dalam satu buku, dalam hal ini buku kedua yang memuat tindak pidana.
Selanjutnya, berbeda dengan Buku I KUHP yang dibagi dalam IX BAB + Aturan Penutup, maka Buku I CC dibagi dalam empat BAB saja yang terdiri dari:
BAB I. Batas berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
BAB II. Tindak Pidana (Crime)
BAB III. Pidana (Punishment)
BAB IV. Penghitungan waktu.
B. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea
B.1. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Penyertaan
a. Bentuk penyertaan
Bentuk penyertaan yang dikenal dalam Ketentuan Umum CC ialah:
1. Pelaku peserta (Co-principlas), yaitu dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu tindak pidana (Pasal 30).
2. Penghasut (Instigator), yaitu seseorang yang menghasut orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 31).
3. Pembantu (Accessories), yaitu mereka yang membantu atau memberi bantuan kepada kepada orang lain yang melakukan suatu tindak pidana (pasal 32)
4. Penghasut yang gagal (pasal 30 ayat 3)
Untuk tersebut a.1) di atas dapatlah diperbanding-samakan dengan bersama-sama melakukan atau turut serta melakukan ala KUHP, tersebut a.2) dengan penggerakan kendati alat atau cara menggerakkan itu dalam CC tidak diatur; tersebut a.3) dengan pembantuan pasal 56 KUHP; dan a.4) dengan yang ditentukan pada pasal 163 bis KUHP.
Yang paling menarik di sini ialah:
a) Tidak ditentukannya secara definitif caranya menggerakkan (menghasut) atau membantu sebagaimana diatur dalam KUHP. Rupanya hal ini cukup dipercayakan kepada tafsir atau “kemampuan” hakim saja.
b) Diaturnya penghasutan yang gagal dalam ketentuan umum, yang berarti berlaku pada umumnya bagi setiap tindak pidana.
b. Ancaman Pidana
Ancaman pidana bagi pelaku peserta ditentukan sama dengan pelaku-utamanya; bagi penghasut dipandang sebaagi pelaku yang sebenarnya, yang dengan demikian pertanggungjawaban pidana dari penghasut tergantung pada pelaku yang dihasut; bagi penghasutan yang gagal baik bagi penghasut maupun yang dihasut dipandang sebagai “permufakatan jahat atau perencana-perencana” untuk melakukan tindak pidana tersebut; bagi pembantu ancaman pidananya dapat dikurangi; sedangkan bagi penghasut yang memperalat orang lain yang tidak bersalah atau yang alpa dipersamakan dengan ancaman pidana bagi penghasut.
Selanjutnya ditentukan pula bahwa jika seseorang peserta tidak memenuhi status dari unsur subyek, maka iapun diancam dengan pidana yang sama, kecuali ditentukan lain oleh perundangan yang bersangkutan.
B.2. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Pebarengan dan Pengulangan
a. Tempat
Menurut sistematika KUHP perbarengan diatur dalam Bab VI Buku I (Ketentuan Umum), sedangkan pengulangan ada yang diatur dalam Buku II (pasal 486 sampai dengan 488) dan ada pula yang diatur pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut sistematika CC perbarengan diatur dalam Buku I Bagian II seksi V (perbarengan tindak pidana) pasal 37 sampai dengan 40. Selain daripada itu ada juga yang diatur tersendiri dalam Pasal 19. Pengulangan diatur dalam Buku I Bagian II seksi IV (pengulangan tindak pidana) pasal 35 sampai dengan 36.
Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa:
1) Perbarengan baik menurut KUHP maupun CC merupakan ketentuan umum.
2) Pengulangan menurut CC merupakan ketentuan umum, sedangkan menurut KUHP merupakan Ketentuan Khusus.
b. Bentuk perbarengan
Baik bangunan perbarengan-tindakan, maupun perbarengan-ancaman-pidana sama-sama dianut oleh KUHP dan CC.
Perbarengan tindakan yang berupa:
1) Perbarengan tindakan tunggal (concursus idealis)
2) Perbarengan tindakan jamak (concursus realis)
3) Perbarengan berupa tindakan berlanjut.
Berturut-turut tercantum dalam Pasal 40, 37, dan 19 CC perbarengan ancaman pidana sebagai kelanjutan dari adanya perbarengan tindak-pidana diatur dengan suatu system atau stelsel untuk penerapannya.
Sistem yang digunakan oleh KUHP dan CC tersebut ialah:
a) Sistem penyerapan (sistem absorsi)
b) Sistem penjumlahan (sistem kumulasi)
c) Sistem antara
Hanya bervariasi caranya sehubungan dengan perbedaan jenis/macam ancaman pidana yang dugunakan oleh KUHP dan CC
c. Delik tertinggal
Yang diatur dalam Pasal 71 KUHP mengenai delik tertinggal dianut pula dalam CC sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 39 ayat (1). Dengan demikian kedua-duanya sama-sama memperhitungkan pidana yang sudah dijatuhkan kepada tindak pidana yang tertinggal yang akan diadili, seolah-olah perkara tersebut bersamaan diadili.
d. Jenis-jenis pengulangan
Secara umum ada dua jenis pengulangan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu:
1. Pengulangan umum (tidak dipersoalkan jenis/macam tindak pidana yang diulangi)
2. Pengulangan khusus (tindak pidana yang diulangi itu sejenis atau sama).
Dari kedua jenis pengulangan tersebut yang dianut KUHP adalah jenis yang kedua (pengulangan khusus), karena dalam Pasal 486 sampai dengan 488 dikelompokkan jenis-jenis tindak pidana yang dipandang sejenis yang dimasukkan dalam kategori pengulangan apabila dilakukan dalam tenggang waktu lima (5) tahun. Yang dianut oleh CC adalah pengulangan umum, karena diatur dalam ketentuan umum dan tidak dipersoalkan tentang tindak pidana yang terjadi apakah sejenis atau tidak (Pasal 35 ayat 1).
e. Jangka waktu pengulangan (residive)
Jangka waktu pengulangan yang dicantumkan dalam KUHP tidak seragam. Ada yang lima tahun (pasal 486 sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya), dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada pula yang hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan lain-lain).
Jangka waktu pengulangan menurut CC adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.
f. Ketentuan pidana pengulangan
Dalam KUHP pada umumnya pemidanaan pengulangan adalah pidana pokok ditambah sepertiga, akan tetapi dalam pasal-pasal tertentu bukan pidana pokok yang ditambah melainkan dapatnya pidana tambahan tertentu dijatuhkan.
Dalam CC, pidananya didua-kalikan.
Rupanya di Korea, masalah residive ini dipandang lebih membahayakan kepentingan umum ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena seseorang itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis tetapi tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah sosial ekonomi dan masalah-masalah politik.
B.3. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Hapusnya Hak Penuntutan dan Hapusnya Hak Pelaksanaan Pidana
a. Hapusnya hak penuntutan
Menurut Buku I KUHP, hak penuntutan hapus apabila terjadi:
1) Nebis in idem (Pasal 76)
2) Tersangka/terdakwa meninggal (Pasal 77)
3) Daluwarsa (Pasal 78)
4) Penyelesaian di luar sidang (Pasal 82)
Dari keempat ketentuan tersebut, tidak ada yang diatur secara tegas dalam CC Yang dikenal (disinggung) adalah amnesti, yang dapat disimpulkan dari Pasal 39 (3) CC yang berbunyi: Jika seorang yang telah dipidanan untuk perbarengan tindak pidana menerima “Amnesti” atau remisi untuk pelaksanaan pidana itu, maka pidana bagi tindak pidana yang tersisa dapat ditentukan secara de novo. Dengan perkataan lain, hapusnya hak penuntutan tidak diatur dalam CC
b. Hapusnya hak pelaksanaan pidana
Hapusnya hak pelaksanaan pidana menurut KUHP dapat ditemukan dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85, antara lain:
1. Terpidana meninggal (Pasal 83)
2. Daluwarsa (Pasal 84)
Yang menghapuskan pelaksanaan pidana menurut ketentuan umum CC:
1. Daluwarsa (Pasal 77 sampai dengan Pasal 80)
2. Pembatalan putusan (Pasal 81)
3. Pemulihan hak-hak (Pasal 82).
Perbandingan mengenai ketentuan-ketentuan yang menghapuskan pelaksanaan pidana antara KUHP dan CC dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Meninggalnya terpidana rupanya tidak dipandang perlu diaur dalam CC (kemungkinan hal itu dapat dipandang sudah dengan sendirinya).
2. Pembatalan putusan tidak dianut oleh KUHP, sedangkan dalam CC dikatakan bahwa: Bagi seseorang yang dipidana skorsing atas hak-hak tertentu atau pidana yang lebih berat, jika telah menjalani 7 tahun, atau setelah memberi ganti rugi pada korban atas kerusakan-kerusakan yang dideritanya; tanpa dijatuhi lagi pidana penskorsan atau yang lebih berat, maka dia dapat mengajukan pembatalan putusan secara langsung atau lewat penuntut umum.
3. Pemulihan hak-hak juga tidak dianut oleh KUHP, sedangkan dalam Pasal 82 CC dikatakan bahwa: Dalam hal separuh dari masa percobaan pidana telah dilewati, seseorang yang telah dipidana skorsing atas hak-hak tertentu tanpa pidana skorsing lebih lanjut atau pidana yang lebih berat, setelah memberikan ganti rugi pada si korban atas kerusakan-kerusakan yang dideritanya, pemulihan hak-haknya dapat diberikan atas permohonannya sendiri, atau lewat penuntut umum.
c. Kedaluarsaan hak perjalanan pidana
Hak menjalankan pidana dapat daluarsa. Masa (tenggang/periode) kedaluarsaan itu dalam Pasal 85 KUHP pada dasarnya ditentukan berdasarkan berat/ringannya pidana yang diancamkan dikombinasikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan. Masa daluarsa tersebut diatur sebagai berikut:
Untuk semua pelanggaran, setelah 2 tahun.
Untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat pencetak, setelah 5 tahun
Untuk kejahatan yang diancam dengan denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun, setelah 8 tahun.
Untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, setelah 16 tahun.
Namun, bagi mereka yang dijatuhi:
Pidana penjara lebih dari 16 tahun, setelah minimal sama dengan yang diputuskan/dijatuhkan itu.
Pidana penjara seumur hidup, sah setelah habis hidupnya.
Pidana mati, tidak mungkin daluarsa.
Dalam hal pidana penjara seumur hidup dan pidana mati, hanya mungkin jka pidana tersebut berubah atau diampuni sebelum habis hidupnya atau sebelum ditembak mati.
Masa daluarsa yang diatur dalam pasal 77 CC, ternyata tidak didasarkan kepada berat/ringannya pidana yang diancamkan, melainkan kepada berat/ringannya pidana yang diputuskan/dijatuhkan sebagai berikut:
1) Untuk pidana mati, setelah 30 tahun.
2) Untuk pidana penjara/kurungan seumur hidup, setelah 20 tahun.
3) Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang dari 10 tahun, setelah 15 tahun.
4) Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang dari 30 tahun, atau untuk pidana penskorsan dari hak-hak tertentu yang tidak kurang dari 5 tahun, setelah 10 tahun.
5) Untuk pidana penjara atau kurungan yang kurang dari 3 tahun atau untuk pidana penskorsan dari hak-hak tertentu yang kurang dari 5 tahun, setelah 5 tahun.
6) Untuk pidana penskorsan hak-hak tertentu yang kurang dari 5 tahun, denda penyitaan atau pemungutan dari pengadilan, setelah 3 tahun.
7) Untuk penahanan atau pidana denda ringan, setelah 1 tahun.
Perbedaan yang mengemuka dari kedua ketentuan tesebut, ialah bahwa KUHP mendasarkan periodisasi/tenggang waktu/masa daluarsa itu pada berat/ringannya pidana yang diancam dan dijatuhkan, sedangkan CC mendasarkan periodisasi tersebut kepada berat/ringannya pidana yang diputuskan/dijatuhkan.
B.3. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Kesalahan, Bersifat Melawan Hukum, dan Sebab-Akibat
Dalam rangka mempelajari KUHP, khususnya mengenai kesalahan, bersifat melawan hukum, dan sebab-akibat, kita pelajari dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Dalam pasal-pasal tindak pidana, ditemukan istilah-istilah kesengajaan atau culpa/alpa (sebagai perincian kesalahan), bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kepatutan/kebiasaan (sebagai perincian dari bersifat melawan hukum), serta istilah-istilah sebab dan akibat apabila tindak pidana tersebut merupakan “tindak pidana material” atau sebab dan akibat itu dikaitkan sebagai syarat pemidanaan, namun tidak dijelaskan apa artinya dan apa fungsinya dalam suatu tindak pidana. Justru ilmu pengetahuan hukum pidanalah yang menunjukkan fungsi tersebut, yaitu bagi kesalahan dan bersifat melawan hukum, masing-masing merupakan unsur, yang jika tidak hadir, maka tidak telah terjadi suatu tindakan yang dapat dipidana alias tindak pidana. Fungsi sebab-akibat dalam suatu hal merupakan syarat pemidanaan, di lain hal sebagai pembentuk unsur kesengajaan, serta dalam hal-hal tertentu menunjukkan hubungan antara sesama bagian-bagian dari tindakan itu sendiri, menunjukkan hubungan antara kesalahan dengan tindakan serta hubungan bersifat melawan hukum dengan tindakan yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, hal yang sama juga kita temukan dalam mempelajari CC, yaitu dalam perumusan pasal-pasal di Ketentuan Umum tidak secara tegas dipisahkan pengaturannya mengenai:
Tiadanya kesalahan/ditiadakannya kesalahan sebagai dasar peniadaan pidana.
Tiadanya bersifat melawan hukum atau ditiadakannya bersifat melawan hukum sebagai alasan peniadaan pidana.
Namun, CC dalam beberapa bidang sudah lebih maju karena beberapa materi yang kita pelajari melalui ilmu pengetahuan hukum pidana, sudah tercantum dalam CC, yaitu antara lain ketentuan tentang anak di bawah umur 14 tahun (Pasal 9), tentang kehendak jahat (Pasal 13), tentang kealpaan (Pasal 14), tentang kekeliruan fakta (Pasal 15), tentang kekeliruan hukum (Pasal 16), dan tentang praktek kegiatan dagang (Pasal 20).
Demikian juga merupakan suatu kemajuan dengan menegaskan bahwa suatu “akibat yang terjadi” harus ada hubungannya dengan penyebabnya (Pasal 17) dan tentunya dikaitkan pula dengan “kejiwaan” si pelaku. Dibandingkan dengan ajaran Pompe, maka suatu “kejadian” harus selalu dapat dikaitkan dengan kejiwaan seseorang, yaitu dilakukan dengan kehendak atau kealpaan.
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara sistematika KUHP dengan CC adalah bahwa CC tidak membedakan antara Kejahatan dengan Pelanggaran, sedangkan KUHP masih membedakannya. Kejahatan dan Pelanggaran dalam CC disatukan dalam satu buku, dalam hal ini buku kedua yang memuat tindak pidana.
Beberapa perbandingan antara KUHP Indonesia dengan CC,dalam hal;
1. Penyertaan
Dalam CC bentuk penyertaannya antara lain:
· Pelaku peserta (Co-principlas), yaitu dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu tindak pidana (Pasal 30).
· Penghasut (Instigator), yaitu seseorang yang menghasut orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 31).
· Pembantu (Accessories), yaitu mereka yang membantu atau memberi bantuan kepada kepada orang lain yang melakukan suatu tindak pidana (pasal 32)
· Penghasut yang gagal (pasal 30 ayat 3)
2. Perbarengan dan Pengulangan
· Perbarengan baik menurut KUHP maupun CC sama-sama merupakan ketentuan umum.
· Pengulangan menurut CC merupakan ketentuan umum, sedangkan menurut KUHP merupakan Ketentuan Khusus. Di Korea, masalah residive ini dipandang lebih membahayakan kepentingan umum ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena seseorang itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis tetapi tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah sosial ekonomi dan masalah-masalah politik.
3. Hapusnya hak penuntutan
· Hapusnya hak penuntutan tidak diatur dalam CC.
· Hapusnya hak pelaksanaan pidana menurut KUHP dapat ditemukan dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85, antara lain:
a. Terpidana meninggal (Pasal 83)
b. Daluwarsa (Pasal 84)
Yang menghapuskan pelaksanaan pidana menurut ketentuan umum CC:
a. Daluwarsa (Pasal 77 sampai dengan Pasal 80)
b. Pembatalan putusan (Pasal 81)
c. Pemulihan hak-hak (Pasal 82).
4. Kesalahan, Bersifat Melawan Hukum, dan Sebab-Akibat
CC dalam perumusan pasal-pasal di Ketentuan Umummya tidak secara tegas dipisahkan pengaturannya mengenai:
· Tiadanya kesalahan/ditiadakannya kesalahan sebagai dasar peniadaan pidana.
· Tiadanya bersifat melawan hukum atau ditiadakannya bersifat melawan hukum sebagai alasan peniadaan pidana.



Sistem Hukum Modern Korea
Warisan tradisi hukum yang autoraktik terus berlanjut hingga mulai dimasukkannya elemen baru ke dalam sejarah Korea dengan adanya pendudukan Jepang pada 1910 dengan sistem hukum modern. Jepang melakukan westernization kitab undang-undang hukum pidana, mengangkat hakim, jaksa dari aristoraksi dan masyarakat atas Korea[1].
Suatu sistem hukum disebut sebagai sistem hukum modern apabila memiliki beberapa ciri sebagai berikut: sistem tersebut harus seragam dalam penerapannya, bersifat trasaksional (tidak memperhatikan atau membedakan faktor golongan, umur, agama, dan lain-lain), universalitas, struktur hiraki dalam peradilan, dan birokrasi yang terorganisir[2].
Modernisasi hukum yang dilakukan Jepang tersebut bukan ditujukan terhadap pemenuhan kebutuhan asli atau tradisi Korea, tetapi untuk melakukan kontrol dari penguasa kepada masyarakat. Dengan demikian dimasukkannya konsep hukum dan institusi melalui model Jepang memberikan kontribusi besar bagi penguasa Jepang dalam melakukan kontrol terhadap masyarakat Korea[3].
Di Jepang sendiri hukum modern yang dibangun didasarkan pada model hukum Jerman. Kode Sipil Jepang 1898 diadopsi dari Kode Sipil Jerman[4]. Sistem hukum Jepang tersebut kemudian dibawa ke Korea[5].
Selama masa pendudukan Jepang, Jepang juga telah melakukan upaya modernisasi hukum dasar dan infrastruktur birokrasi. Untuk membantu pelaksanaan modernisasi tersebut, Jepang juga telah melatih beberapa orang dari kalangan elit Korea[6].
Dalam pandangan masyarakat Korea, hukum modern yang dibawa Jepang tidak lebih dari sebagai alat untuk mengontrol masyarakat. Bahkan hukum dipandang sebagai alat legal untuk melakukan pengambilalihan kekayaan hak milik. Misalnya dengan adanya ketentuan hukum pendaftaran tanah, memungkin orang-orang Jepang melakukan pengambilalihan tanah-tanah pertanian yang terbaik dalam jumlah yang besar. Hukum dan undang-undang dijadikan alat atau metode ekpolitasi dan refresi orang-orang Jepang terhadap masyarakat Korea[7].
Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Korea, penguasa militer Amerika di Korea (1945-1948) mulai berusaha membangun partisipasi masyarakat dan membangun sistem politik yang lebih demokratis. Mereka juga mulai mengintrodusir hukum yang lebih demokratis, termasuk di dalam pengakuan akan adanya hak dan kewajiban hukum[8].
Di dalam melakukan proses penegakan hukum tersebut,  pihak militer masih bekerjasama dengan kalangan elit tradisional, yang ditujukan untuk melakukan kontrol aktivitas politik masyarakat. Ketentuan-ketentuan undang-undang Jepang masih digunakan hal tersebut masih diperlukan[9].
Dalam perkembangan sistem hukum modern yang dibangun Korea tidak lagi mengacu kepada hukum Jerman yang dibawa Jepang, tetapi mulai mengarah kepada sistem hukum Anglo American.
Ide Hukum Tradisi Sino Korea dan Perubahaannya
Peradaban Korea, termasuk di dalamnya budaya, pendidikan dan hukum sangat dipengaruhi budaya China. Pengaruh begitu lama dan mendalam. Pengaruh yang berabad-abad itu berlangsung sejak kejatuhan Kerajaan Weiman yang didirikan pada 194 SM. Kerajaan tersebut dikuasai oleh dinasti Han dari China[10].
Mengingat pengaruh tersebut begitu mendalam, maka pandangan masyarakat Korea terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh tradisi konfusius. Pandangan mereka terhadap hukum menunjukan perbedaan yang sangat mendasar dengan hukum modern.
Dalam tradisi Sino-Korea istilah (term) hukum sangat berbeda dengan konotasi dalam bahasa Barat. Hukum hakikatnya adalah suatu model atau standar yang ditentukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan (superior authority)[11]Umumnya digunakan istilah hsing, yang bermakna hukuman, yakni hukuman badani yang bermakna adanya fornalisasi larangan di mana pihal yang melanggarnya dikenakan hukuman[12]. Sanksi terhadap pelanggaran fa dipaksakan dengan kekuasaan negara[13]. Dengan demikian, hukum (fa) lebih mengarah kepada hukum pidana.
Bagi kaum legalist, hukum harus dikodifikasikan dalam kitab undang-undang, dilaksanakan oleh pemerintah, dan diumumkan kepada masyarakat yang merupakan satu kesatuan (unifikasi) perilaku orang-orang dalam masyarakat[14].
Bagi kaum legalist, hukum merupakan prinsip autoritatif bagi masyarakat dan merupakan dasar pemerintahan. Tujuan utama hukum adalah untuk memelihara tatanan masyarakat dan politik[15].
Pandangan tersebut merupakan antesis terhadap ajaran konfusius mengenai li[16]Secara etimologis, libermakna ritual masyarakat dan pola perilaku sopan santun yang diterima sebagai model pola perilaku dalam suatu negara yang beradab[17] .
Dalam tradisi Sino-Korea yang didasarkan pada tradisi konfusius, hubungan warganegara yang terstruktur tidak didasarkan pada hukum tetapi harus didasarkan perluasan konsep keluarga yang tercakup dalam li.Raja atau kaisar harus bertindak sebagai ayah dalam sistem hubungan hirarki. Persamaan kedudukan di hadapan hukum tidak dikenal. Hubungan diantara saudarapun mengenai hirarki, yakni kakak dan adik yang memiliki perbedaan fungsi dalam struktur keluarga. Hubungan di dalam ajaran konfusius mengenai adanya hirarki. Aturan perilaku sopan santun (li) tidak menjangkau sampai kepada masyarakat umum; hukuman(hsing) tidak sampai ke atas, yakni orang-orang yang berkedudukan tinggi[18].
Dengan demikian hak-hak individual dalam masyarakat tradisional Sino-Korea tidak diakui. Hak-hak tersebut tidak diakui  keberadaannya kecuali dalam ketentuan hukum dalam sistem keluarga yang diperluas (negara) atau ikatan keluarga. Hubungan antara individu tidak berjalan[19].
Seiring dengan perkembangan jaman, adanya peningkatan pendidikan, dan migrasi penduduk mulai terjadi perubahan budaya hukum dapat dibedakan dalam beberapa golongan masyarakat. Penggolongan tersebut adalah masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat Kelas menengah dan masyarakat kelas atas.
Perbedaan golongan masyarakat tersebut sangat mempengaruhi sikap masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat Kelas menengah dan masyarakat kelas atas.
Perbedaan golongan masyarakat tersebut sangat mempengaruhi sikap masyarakat Korea terhadap hukum, terutama yang menyangkut dan kewajiban hukumnya. Misalnya perkotaan (metropolitan) cenderung berpikir legal minded dan lebih agresif dalam menuntut hak-hak individual mereka. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap masyarakat pedesaan.
Sistem hukum modern Korea dibangun tidak didasarkan pada budaya hukum masyarakat Korea sendiri, tetapi didasarkan kepada hukum Barat yang pada awalnya dibawa oleh Jepang.