Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai akibat dari perkembangan
teknologi maupun peradaban masyarakat bangsa di dunia, rasanya dunia ini
semakin sempit, jarak-jarak semakin dekat, hubungan komunikasi semakin cepat,
sehingga tidak satu pun Negara di dunia dapat mengucilkan diri atau dikucilkan
dari pergaulan dunia.
Kelanjutannya ialah masyarakat bangsa
atau Negara yang satu cenderung memperbandingkan dirinya terhadap yang lain,
baik sebagai perwujudan dari nalurinya untuk menyatakan “kelebihannya”
setidak-tidaknya dalam suatu bidang, atau untuk memelihara keseimbangan, baik
dalam arti memelihara keseimbangan, maupun dalam arti memelihara saling
pengertian atau saling meghormati. Selain daripada itu, dengan cara atau usaha
memperbandingkan sesuatu itu diharapkan dapat meningkatkan diri sendiri dengan
“mengambil” nilai-nilai yang maju dan mengemuka dari dunia luar tanpa
menghancurkan kepribadian sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana lazim dikenal
tiga sistem hukum pidana di dunia yang paling mengemuka, yaitu 1. Sistem Eropa
Kontinental, 2. Sistem Anglo Saxon dan 3. Sistem Negara-negara sosial.
Dalam makalah ini, penyusun
membandingkan antara sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum Korea yang
sama-sama menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Manfaat memperbandingkan hukum pidana
kita dengan hukum pidana dari Negara lain antara lain dapat menambah pemahaman
kita mengenai kelebihan dan kelemahan dari dari hukum pidana kita, sebagaimana
yang kita ketahui bahwa hukum pidana yang berlaku dewasa ini adalah warisan
dari penjajahan Belanda dan resminya berbahasa Belanda Belanda. Sekalipun sudah
ditambal-sulam di sana-sini, namun masih perlu pembaharuan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya antara lain
sebagai berikut;
1. Bagaimana kodifikasi dan
sistematika hukum pidana Korea?
2. Bagaimana perbandingan Hukum
Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Korea dalam hal penyertaan, perbarengan
dan pengulangan, hapusnya hak penuntutan dan hapusnya hak pelaksanaan pidana,
kesalahan, bersifat melawan hukum, dan sebab-akibat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kodifikasi dan Sistematika Hukum Pidana Korea
Hukum pidana Korea sudah dikodifikasikan sebagaimana terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Korea (Criminal Code of The Republic of Korea yang
selanjutnya disebut CC saja) yang diundangkan berdasarkan Undang-Undang No. 239
tanggal 18 September 1953. Hukum Pidana Indonesia dikodifikasikan dalam KUHP
(Undang-undang No. 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 73 Tahun 1958).
Sistematika Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berbeda dengan sistematika CC
Korea. Sistematika KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu:
Buku I yang memuat
Ketentuan Umum
Buku II yang memuat
Kejahatan
Buku III yang memuat
Pelanggaran
Sedangkan CC terdiri dari dua buku saja, yaitu:
Buku pertama :
Ketentuan-ketentuan Umum
Buku Kedua :
Ketentuan-ketentuan Khusus yang memuat tindak pidana
Jika diperbandingkan
sistematika KUHP dengan CC, maka perbedaan yang sangat mencolok yang dapat
dilihat dalam hal ini adalah bahwa CC tidak membedakan antara Kejahatan dengan
Pelanggaran, sedangkan KUHP masih membedakannya. Kejahatan dan Pelanggaran
dalam CC disatukan dalam satu buku, dalam hal ini buku kedua yang memuat tindak
pidana.
Selanjutnya, berbeda dengan Buku I KUHP yang dibagi dalam IX BAB + Aturan
Penutup, maka Buku I CC dibagi dalam empat BAB saja yang terdiri dari:
BAB I. Batas berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
BAB II. Tindak Pidana (Crime)
BAB III. Pidana (Punishment)
BAB IV. Penghitungan waktu.
B. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea
B.1. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Penyertaan
a. Bentuk penyertaan
Bentuk penyertaan yang dikenal dalam Ketentuan Umum CC ialah:
1. Pelaku peserta (Co-principlas), yaitu dua orang atau lebih
bersama-sama melakukan suatu tindak pidana (Pasal 30).
2. Penghasut (Instigator), yaitu seseorang yang menghasut orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 31).
3. Pembantu (Accessories), yaitu mereka yang membantu atau memberi
bantuan kepada kepada orang lain yang melakukan suatu tindak pidana (pasal 32)
4. Penghasut yang gagal (pasal 30 ayat 3)
Untuk tersebut a.1) di atas dapatlah diperbanding-samakan dengan
bersama-sama melakukan atau turut serta melakukan ala KUHP, tersebut a.2)
dengan penggerakan kendati alat atau cara menggerakkan itu dalam CC tidak
diatur; tersebut a.3) dengan pembantuan pasal 56 KUHP; dan a.4) dengan yang
ditentukan pada pasal 163 bis KUHP.
Yang paling menarik di sini ialah:
a) Tidak ditentukannya secara definitif caranya menggerakkan
(menghasut) atau membantu sebagaimana diatur dalam KUHP. Rupanya hal ini cukup
dipercayakan kepada tafsir atau “kemampuan” hakim saja.
b) Diaturnya penghasutan yang gagal dalam ketentuan umum, yang berarti
berlaku pada umumnya bagi setiap tindak pidana.
b. Ancaman Pidana
Ancaman pidana bagi pelaku peserta ditentukan sama dengan pelaku-utamanya; bagi
penghasut dipandang sebaagi pelaku yang sebenarnya, yang dengan demikian
pertanggungjawaban pidana dari penghasut tergantung pada pelaku yang dihasut;
bagi penghasutan yang gagal baik bagi penghasut maupun yang dihasut dipandang
sebagai “permufakatan jahat atau perencana-perencana” untuk melakukan tindak
pidana tersebut; bagi pembantu ancaman pidananya dapat dikurangi; sedangkan
bagi penghasut yang memperalat orang lain yang tidak bersalah atau yang alpa
dipersamakan dengan ancaman pidana bagi penghasut.
Selanjutnya ditentukan pula bahwa jika seseorang peserta tidak memenuhi
status dari unsur subyek, maka iapun diancam dengan pidana yang sama, kecuali
ditentukan lain oleh perundangan yang bersangkutan.
B.2. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Pebarengan
dan Pengulangan
a. Tempat
Menurut sistematika
KUHP perbarengan diatur dalam Bab VI Buku I (Ketentuan Umum), sedangkan
pengulangan ada yang diatur dalam Buku II (pasal 486 sampai dengan 488) dan ada
pula yang diatur pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut sistematika CC
perbarengan diatur dalam Buku I Bagian II seksi V (perbarengan tindak pidana)
pasal 37 sampai dengan 40. Selain daripada itu ada juga yang diatur tersendiri
dalam Pasal 19. Pengulangan diatur dalam Buku I Bagian II seksi IV (pengulangan
tindak pidana) pasal 35 sampai dengan 36.
Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa:
1) Perbarengan baik menurut KUHP maupun CC merupakan ketentuan umum.
2) Pengulangan menurut CC merupakan ketentuan umum, sedangkan menurut
KUHP merupakan Ketentuan Khusus.
b. Bentuk
perbarengan
Baik bangunan
perbarengan-tindakan, maupun perbarengan-ancaman-pidana sama-sama dianut oleh
KUHP dan CC.
Perbarengan tindakan yang berupa:
1) Perbarengan tindakan tunggal (concursus idealis)
2) Perbarengan tindakan jamak (concursus realis)
3) Perbarengan berupa tindakan berlanjut.
Berturut-turut
tercantum dalam Pasal 40, 37, dan 19 CC perbarengan ancaman pidana sebagai
kelanjutan dari adanya perbarengan tindak-pidana diatur dengan suatu system atau
stelsel untuk penerapannya.
Sistem yang digunakan oleh KUHP dan CC tersebut ialah:
a) Sistem penyerapan (sistem absorsi)
b) Sistem penjumlahan (sistem kumulasi)
c) Sistem antara
Hanya bervariasi
caranya sehubungan dengan perbedaan jenis/macam ancaman pidana yang dugunakan
oleh KUHP dan CC
c. Delik
tertinggal
Yang diatur dalam
Pasal 71 KUHP mengenai delik tertinggal dianut pula dalam CC sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 39 ayat (1). Dengan demikian kedua-duanya sama-sama
memperhitungkan pidana yang sudah dijatuhkan kepada tindak pidana yang
tertinggal yang akan diadili, seolah-olah perkara tersebut bersamaan diadili.
d. Jenis-jenis
pengulangan
Secara umum ada dua jenis pengulangan yang dikenal dalam hukum pidana
yaitu:
1. Pengulangan umum (tidak dipersoalkan jenis/macam tindak pidana yang
diulangi)
2. Pengulangan khusus (tindak pidana yang diulangi itu sejenis atau
sama).
Dari kedua jenis
pengulangan tersebut yang dianut KUHP adalah jenis yang kedua (pengulangan
khusus), karena dalam Pasal 486 sampai dengan 488 dikelompokkan jenis-jenis
tindak pidana yang dipandang sejenis yang dimasukkan dalam kategori pengulangan
apabila dilakukan dalam tenggang waktu lima (5) tahun. Yang dianut oleh CC
adalah pengulangan umum, karena diatur dalam ketentuan umum dan tidak
dipersoalkan tentang tindak pidana yang terjadi apakah sejenis atau tidak
(Pasal 35 ayat 1).
e. Jangka
waktu pengulangan (residive)
Jangka waktu
pengulangan yang dicantumkan dalam KUHP tidak seragam. Ada yang lima tahun
(pasal 486 sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya), dua tahun (Pasal
137, 144, dan lain-lain), ada pula yang hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495,
536, 544 dan lain-lain).
Jangka waktu
pengulangan menurut CC adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa
membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.
f. Ketentuan
pidana pengulangan
Dalam KUHP pada umumnya pemidanaan pengulangan adalah pidana pokok ditambah
sepertiga, akan tetapi dalam pasal-pasal tertentu bukan pidana pokok yang
ditambah melainkan dapatnya pidana tambahan tertentu dijatuhkan.
Dalam CC, pidananya didua-kalikan.
Rupanya di Korea, masalah residive ini dipandang lebih membahayakan
kepentingan umum ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena
seseorang itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis tetapi
tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah sosial
ekonomi dan masalah-masalah politik.
B.3. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Hapusnya
Hak Penuntutan dan Hapusnya Hak Pelaksanaan Pidana
a. Hapusnya hak penuntutan
Menurut Buku I KUHP, hak penuntutan hapus apabila terjadi:
1) Nebis in idem (Pasal 76)
2) Tersangka/terdakwa meninggal (Pasal 77)
3) Daluwarsa (Pasal 78)
4) Penyelesaian di luar sidang (Pasal 82)
Dari keempat ketentuan
tersebut, tidak ada yang diatur secara tegas dalam CC Yang dikenal (disinggung)
adalah amnesti, yang dapat disimpulkan dari Pasal 39 (3) CC yang berbunyi: Jika
seorang yang telah dipidanan untuk perbarengan tindak pidana menerima “Amnesti”
atau remisi untuk pelaksanaan pidana itu, maka pidana bagi tindak pidana yang
tersisa dapat ditentukan secara de novo. Dengan perkataan lain, hapusnya hak
penuntutan tidak diatur dalam CC
b. Hapusnya hak pelaksanaan pidana
Hapusnya hak pelaksanaan pidana menurut KUHP dapat ditemukan dalam Pasal 83
sampai dengan Pasal 85, antara lain:
1. Terpidana meninggal (Pasal 83)
2. Daluwarsa (Pasal 84)
Yang menghapuskan pelaksanaan pidana menurut ketentuan umum CC:
1. Daluwarsa (Pasal 77 sampai dengan Pasal 80)
2. Pembatalan putusan (Pasal 81)
3. Pemulihan hak-hak (Pasal 82).
Perbandingan mengenai ketentuan-ketentuan yang menghapuskan pelaksanaan
pidana antara KUHP dan CC dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Meninggalnya terpidana rupanya tidak dipandang perlu diaur dalam CC
(kemungkinan hal itu dapat dipandang sudah dengan sendirinya).
2. Pembatalan putusan tidak dianut oleh KUHP, sedangkan dalam CC
dikatakan bahwa: Bagi seseorang yang dipidana skorsing atas hak-hak tertentu
atau pidana yang lebih berat, jika telah menjalani 7 tahun, atau setelah
memberi ganti rugi pada korban atas kerusakan-kerusakan yang dideritanya; tanpa
dijatuhi lagi pidana penskorsan atau yang lebih berat, maka dia dapat
mengajukan pembatalan putusan secara langsung atau lewat penuntut umum.
3. Pemulihan hak-hak juga tidak dianut oleh KUHP, sedangkan dalam
Pasal 82 CC dikatakan bahwa: Dalam hal separuh dari masa percobaan pidana telah
dilewati, seseorang yang telah dipidana skorsing atas hak-hak tertentu tanpa
pidana skorsing lebih lanjut atau pidana yang lebih berat, setelah memberikan
ganti rugi pada si korban atas kerusakan-kerusakan yang dideritanya, pemulihan
hak-haknya dapat diberikan atas permohonannya sendiri, atau lewat penuntut
umum.
c. Kedaluarsaan hak perjalanan pidana
Hak menjalankan pidana dapat daluarsa. Masa (tenggang/periode) kedaluarsaan
itu dalam Pasal 85 KUHP pada dasarnya ditentukan berdasarkan berat/ringannya
pidana yang diancamkan dikombinasikan dengan jenis tindak pidana yang
dilakukan. Masa daluarsa tersebut diatur sebagai berikut:
Untuk semua
pelanggaran, setelah 2 tahun.
Untuk kejahatan yang
dilakukan dengan alat pencetak, setelah 5 tahun
Untuk kejahatan yang
diancam dengan denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun,
setelah 8 tahun.
Untuk tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, setelah 16 tahun.
Namun, bagi mereka yang dijatuhi:
Pidana penjara lebih
dari 16 tahun, setelah minimal sama dengan yang diputuskan/dijatuhkan itu.
Pidana penjara seumur
hidup, sah setelah habis hidupnya.
Pidana mati, tidak
mungkin daluarsa.
Dalam hal pidana
penjara seumur hidup dan pidana mati, hanya mungkin jka pidana tersebut berubah
atau diampuni sebelum habis hidupnya atau sebelum ditembak mati.
Masa daluarsa yang diatur dalam pasal 77 CC, ternyata tidak didasarkan
kepada berat/ringannya pidana yang diancamkan, melainkan kepada berat/ringannya
pidana yang diputuskan/dijatuhkan sebagai berikut:
1) Untuk pidana mati, setelah 30 tahun.
2) Untuk pidana penjara/kurungan seumur hidup, setelah 20 tahun.
3) Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang dari 10 tahun, setelah
15 tahun.
4) Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang dari 30 tahun, atau
untuk pidana penskorsan dari hak-hak tertentu yang tidak kurang dari 5 tahun,
setelah 10 tahun.
5) Untuk pidana penjara atau kurungan yang kurang dari 3 tahun atau untuk
pidana penskorsan dari hak-hak tertentu yang kurang dari 5 tahun, setelah 5
tahun.
6) Untuk pidana penskorsan hak-hak tertentu yang kurang dari 5 tahun, denda
penyitaan atau pemungutan dari pengadilan, setelah 3 tahun.
7) Untuk penahanan atau pidana denda ringan, setelah 1 tahun.
Perbedaan yang
mengemuka dari kedua ketentuan tesebut, ialah bahwa KUHP mendasarkan
periodisasi/tenggang waktu/masa daluarsa itu pada berat/ringannya pidana yang
diancam dan dijatuhkan, sedangkan CC mendasarkan periodisasi tersebut kepada
berat/ringannya pidana yang diputuskan/dijatuhkan.
B.3. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam hal Kesalahan,
Bersifat Melawan Hukum, dan Sebab-Akibat
Dalam rangka
mempelajari KUHP, khususnya mengenai kesalahan, bersifat melawan hukum, dan
sebab-akibat, kita pelajari dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Dalam
pasal-pasal tindak pidana, ditemukan istilah-istilah kesengajaan atau
culpa/alpa (sebagai perincian kesalahan), bertentangan dengan hukum,
bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kepatutan/kebiasaan
(sebagai perincian dari bersifat melawan hukum), serta istilah-istilah sebab
dan akibat apabila tindak pidana tersebut merupakan “tindak pidana material”
atau sebab dan akibat itu dikaitkan sebagai syarat pemidanaan, namun tidak
dijelaskan apa artinya dan apa fungsinya dalam suatu tindak pidana. Justru ilmu
pengetahuan hukum pidanalah yang menunjukkan fungsi tersebut, yaitu bagi
kesalahan dan bersifat melawan hukum, masing-masing merupakan unsur, yang jika
tidak hadir, maka tidak telah terjadi suatu tindakan yang dapat dipidana alias
tindak pidana. Fungsi sebab-akibat dalam suatu hal merupakan syarat pemidanaan,
di lain hal sebagai pembentuk unsur kesengajaan, serta dalam hal-hal tertentu
menunjukkan hubungan antara sesama bagian-bagian dari tindakan itu sendiri,
menunjukkan hubungan antara kesalahan dengan tindakan serta hubungan bersifat
melawan hukum dengan tindakan yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, hal yang sama juga kita temukan dalam mempelajari CC,
yaitu dalam perumusan pasal-pasal di Ketentuan Umum tidak secara tegas
dipisahkan pengaturannya mengenai:
Tiadanya
kesalahan/ditiadakannya kesalahan sebagai dasar peniadaan pidana.
Tiadanya bersifat
melawan hukum atau ditiadakannya bersifat melawan hukum sebagai alasan
peniadaan pidana.
Namun, CC dalam
beberapa bidang sudah lebih maju karena beberapa materi yang kita pelajari
melalui ilmu pengetahuan hukum pidana, sudah tercantum dalam CC, yaitu antara
lain ketentuan tentang anak di bawah umur 14 tahun (Pasal 9), tentang kehendak
jahat (Pasal 13), tentang kealpaan (Pasal 14), tentang kekeliruan fakta (Pasal
15), tentang kekeliruan hukum (Pasal 16), dan tentang praktek kegiatan dagang
(Pasal 20).
Demikian juga
merupakan suatu kemajuan dengan menegaskan bahwa suatu “akibat yang terjadi”
harus ada hubungannya dengan penyebabnya (Pasal 17) dan tentunya dikaitkan pula
dengan “kejiwaan” si pelaku. Dibandingkan dengan ajaran Pompe, maka suatu
“kejadian” harus selalu dapat dikaitkan dengan kejiwaan seseorang, yaitu
dilakukan dengan kehendak atau kealpaan.
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan yang sangat
mencolok yang dapat dilihat antara sistematika KUHP dengan CC adalah bahwa CC
tidak membedakan antara Kejahatan dengan Pelanggaran, sedangkan KUHP masih
membedakannya. Kejahatan dan Pelanggaran dalam CC disatukan dalam satu buku,
dalam hal ini buku kedua yang memuat tindak pidana.
Beberapa perbandingan
antara KUHP Indonesia dengan CC,dalam hal;
1. Penyertaan
Dalam CC bentuk penyertaannya antara lain:
· Pelaku peserta (Co-principlas), yaitu dua orang atau lebih
bersama-sama melakukan suatu tindak pidana (Pasal 30).
· Penghasut (Instigator), yaitu seseorang yang menghasut orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 31).
· Pembantu (Accessories), yaitu mereka yang membantu atau memberi
bantuan kepada kepada orang lain yang melakukan suatu tindak pidana (pasal 32)
· Penghasut yang gagal (pasal 30 ayat 3)
2. Perbarengan dan Pengulangan
· Perbarengan baik menurut KUHP
maupun CC sama-sama merupakan ketentuan umum.
· Pengulangan menurut CC merupakan
ketentuan umum, sedangkan menurut KUHP merupakan Ketentuan Khusus. Di
Korea, masalah residive ini dipandang lebih membahayakan kepentingan umum
ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena seseorang itu sudah
pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis tetapi tidak jera. Tentunya
dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah sosial ekonomi dan
masalah-masalah politik.
3. Hapusnya hak penuntutan
· Hapusnya hak penuntutan tidak diatur dalam CC.
· Hapusnya hak pelaksanaan pidana
menurut KUHP dapat ditemukan dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85, antara lain:
a. Terpidana meninggal (Pasal 83)
b. Daluwarsa (Pasal 84)
Yang menghapuskan pelaksanaan pidana menurut ketentuan umum CC:
a. Daluwarsa (Pasal 77 sampai dengan Pasal 80)
b. Pembatalan putusan (Pasal 81)
c. Pemulihan hak-hak (Pasal 82).
4. Kesalahan, Bersifat Melawan Hukum, dan Sebab-Akibat
CC dalam
perumusan pasal-pasal di Ketentuan Umummya tidak secara tegas dipisahkan
pengaturannya mengenai:
· Tiadanya kesalahan/ditiadakannya kesalahan sebagai dasar peniadaan
pidana.
· Tiadanya bersifat melawan hukum atau ditiadakannya bersifat melawan
hukum sebagai alasan peniadaan pidana.
Sistem Hukum
Modern Korea
March 11, 2012N AW CliffHukum
Warisan tradisi hukum yang autoraktik terus berlanjut hingga mulai
dimasukkannya elemen baru ke dalam sejarah Korea dengan adanya pendudukan
Jepang pada 1910 dengan sistem hukum modern. Jepang melakukan westernization kitab
undang-undang hukum pidana, mengangkat hakim, jaksa dari aristoraksi dan
masyarakat atas Korea[1].
Suatu sistem hukum disebut sebagai sistem hukum modern apabila memiliki
beberapa ciri sebagai berikut: sistem tersebut harus seragam dalam
penerapannya, bersifat trasaksional (tidak memperhatikan atau membedakan faktor
golongan, umur, agama, dan lain-lain), universalitas, struktur hiraki dalam
peradilan, dan birokrasi yang terorganisir[2].
Modernisasi hukum yang dilakukan Jepang tersebut bukan ditujukan terhadap pemenuhan
kebutuhan asli atau tradisi Korea, tetapi untuk melakukan kontrol dari penguasa
kepada masyarakat. Dengan demikian dimasukkannya konsep hukum dan institusi
melalui model Jepang memberikan kontribusi besar bagi penguasa Jepang dalam
melakukan kontrol terhadap masyarakat Korea[3].
Di Jepang sendiri hukum modern yang dibangun didasarkan pada model hukum
Jerman. Kode Sipil Jepang 1898 diadopsi dari Kode Sipil Jerman[4]. Sistem hukum Jepang
tersebut kemudian dibawa ke Korea[5].
Selama masa pendudukan Jepang, Jepang juga telah melakukan upaya
modernisasi hukum dasar dan infrastruktur birokrasi. Untuk membantu pelaksanaan
modernisasi tersebut, Jepang juga telah melatih beberapa orang dari kalangan
elit Korea[6].
Dalam pandangan masyarakat Korea, hukum modern yang dibawa Jepang tidak
lebih dari sebagai alat untuk mengontrol masyarakat. Bahkan hukum dipandang
sebagai alat legal untuk melakukan pengambilalihan kekayaan hak milik. Misalnya
dengan adanya ketentuan hukum pendaftaran tanah, memungkin orang-orang Jepang
melakukan pengambilalihan tanah-tanah pertanian yang terbaik dalam jumlah yang
besar. Hukum dan undang-undang dijadikan alat atau metode ekpolitasi dan
refresi orang-orang Jepang terhadap masyarakat Korea[7].
Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Korea, penguasa militer Amerika di
Korea (1945-1948) mulai berusaha membangun partisipasi masyarakat dan membangun
sistem politik yang lebih demokratis. Mereka juga mulai mengintrodusir hukum
yang lebih demokratis, termasuk di dalam pengakuan akan adanya hak dan
kewajiban hukum[8].
Di dalam melakukan proses penegakan hukum tersebut, pihak militer
masih bekerjasama dengan kalangan elit tradisional, yang ditujukan untuk
melakukan kontrol aktivitas politik masyarakat. Ketentuan-ketentuan
undang-undang Jepang masih digunakan hal tersebut masih diperlukan[9].
Dalam perkembangan sistem hukum modern yang dibangun Korea tidak lagi
mengacu kepada hukum Jerman yang dibawa Jepang, tetapi mulai mengarah kepada
sistem hukum Anglo American.
Ide Hukum Tradisi Sino Korea dan
Perubahaannya
Peradaban Korea, termasuk di dalamnya budaya, pendidikan dan hukum sangat
dipengaruhi budaya China. Pengaruh begitu lama dan mendalam. Pengaruh yang
berabad-abad itu berlangsung sejak kejatuhan Kerajaan Weiman yang didirikan
pada 194 SM. Kerajaan tersebut dikuasai oleh dinasti Han dari China[10].
Mengingat pengaruh
tersebut begitu mendalam, maka pandangan masyarakat Korea terhadap hukum sangat
dipengaruhi oleh tradisi konfusius. Pandangan mereka terhadap hukum menunjukan
perbedaan yang sangat mendasar dengan hukum modern.
Dalam tradisi Sino-Korea istilah (term) hukum sangat
berbeda dengan konotasi dalam bahasa Barat. Hukum hakikatnya adalah suatu model
atau standar yang ditentukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan (superior
authority)[11]. Umumnya digunakan istilah hsing, yang
bermakna hukuman, yakni hukuman badani yang bermakna adanya fornalisasi
larangan di mana pihal yang melanggarnya dikenakan hukuman[12]. Sanksi terhadap
pelanggaran fa dipaksakan dengan kekuasaan negara[13]. Dengan demikian, hukum (fa)
lebih mengarah kepada hukum pidana.
Bagi kaum legalist, hukum harus dikodifikasikan dalam
kitab undang-undang, dilaksanakan oleh pemerintah, dan diumumkan kepada
masyarakat yang merupakan satu kesatuan (unifikasi) perilaku orang-orang dalam
masyarakat[14].
Bagi kaum legalist, hukum merupakan prinsip autoritatif
bagi masyarakat dan merupakan dasar pemerintahan. Tujuan utama hukum adalah
untuk memelihara tatanan masyarakat dan politik[15].
Pandangan tersebut merupakan antesis terhadap ajaran konfusius mengenai li[16]. Secara etimologis, libermakna
ritual masyarakat dan pola perilaku sopan santun yang diterima sebagai model
pola perilaku dalam suatu negara yang beradab[17] .
Dalam tradisi Sino-Korea yang didasarkan pada tradisi konfusius, hubungan
warganegara yang terstruktur tidak didasarkan pada hukum tetapi harus
didasarkan perluasan konsep keluarga yang tercakup dalam li.Raja
atau kaisar harus bertindak sebagai ayah dalam sistem hubungan hirarki.
Persamaan kedudukan di hadapan hukum tidak dikenal. Hubungan diantara
saudarapun mengenai hirarki, yakni kakak dan adik yang memiliki perbedaan
fungsi dalam struktur keluarga. Hubungan di dalam ajaran konfusius mengenai
adanya hirarki. Aturan perilaku sopan santun (li) tidak
menjangkau sampai kepada masyarakat umum; hukuman(hsing) tidak
sampai ke atas, yakni orang-orang yang berkedudukan tinggi[18].
Dengan demikian hak-hak individual dalam masyarakat tradisional Sino-Korea
tidak diakui. Hak-hak tersebut tidak diakui keberadaannya kecuali dalam
ketentuan hukum dalam sistem keluarga yang diperluas (negara) atau ikatan
keluarga. Hubungan antara individu tidak berjalan[19].
Seiring dengan
perkembangan jaman, adanya peningkatan pendidikan, dan migrasi penduduk mulai
terjadi perubahan budaya hukum dapat dibedakan dalam beberapa golongan
masyarakat. Penggolongan tersebut adalah masyarakat perkotaan dan masyarakat
pedesaan. Masyarakat Kelas menengah dan masyarakat kelas atas.
Perbedaan golongan
masyarakat tersebut sangat mempengaruhi sikap masyarakat perkotaan dan
masyarakat pedesaan. Masyarakat Kelas menengah dan masyarakat kelas atas.
Perbedaan golongan masyarakat tersebut sangat mempengaruhi sikap masyarakat
Korea terhadap hukum, terutama yang menyangkut dan kewajiban hukumnya. Misalnya
perkotaan (metropolitan) cenderung berpikir legal minded dan lebih agresif
dalam menuntut hak-hak individual mereka. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap
masyarakat pedesaan.
Sistem hukum modern
Korea dibangun tidak didasarkan pada budaya hukum masyarakat Korea sendiri,
tetapi didasarkan kepada hukum Barat yang pada awalnya dibawa oleh Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar